BPK: Holding Perkebunan Bikin PTPN III Makin Sakit
Jakarta, desernews.com
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan pembentukan holding perkebunan di bawah PT Perkebunan Nusantara III (Persero) dinilai tidak efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan 13 PTPN lain sebagai subdiarinya. Padahal holding ini telah dibentuk sejak 2014 silam.
Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester I-2020 (IHPS) BPK, disebutkan bahwa holding ini sudah tidak efektif sejak 2015 hingga setidaknya semester I-2019. Ditunjukkan dengan tidak adanya perbaikan kinerja keuangan perusahaan hingga kondisi perkebunan yang dinilai tidak dalam standar yang sama dengan induk usahanya.
Disebutkan bahwa sejak dibentuknya holding, bukan perbaikan yang terjadi pada kondisi perusahaan. Malah terjadi penurunan likuiditas, kecukupan modal hingga profit perusahaan.
“Akibatnya, pembentukan PTPN III (Persero) sebagai Holding BUMN Perkebunan kurang efektif dalam meningkatkan perbaikan kinerja keuangan PTPN Grup,” tulis laporan tersebut, dikutip Rabu (11/9/2020).
Begitu juga dengan on farm alias perkebunan dari PTPN I, II, IV, VI. VIII, IX dan XII yang menjadi anak usahanya.
Namun BPK menyebutkan pembentukan holding ini tak membuat terjadinya perbaikan komposisi umur tanaman dan tingkat produktivitas juga dinilai masih berada di bawah standar. Selain itu, juga tidak terjadi efisiensi biaya atau harga pokok produksi (HPP) di perusahaan ini meski sudah dijadikan dalam satu holding.
“Akibatnya, tidak tercapainya target kinerja on farm pada PTPN Grup terutama produktivitas Tandan Buah Segar (TBS), HPP on farm, dan perbaikan komposisi umur tanaman sehingga tujuan pembentukan Holding BUMN Perkebunan dalam rangka perbaikan on farm tidak tercapai,” lanjut laporan ini.
Baca juga : Benarkah Holding PTPN III Membawa Malapetaka Bagi Karyawan?
Dari off farm atau pabrik kelapa sawit dan CPO juga menunjukkan bahwa penggabungan ini tidak memberikan dampak positif untuk perusahaan.
Kinerja pabrik kelapa sawit yang dimiliki holding ini juga dinilai berkinerja di bawa standar yang dimiliki oleh induk usahanya.
Ditunjukkan dengan beberapa karakteristik seperti jam berhenti kerusakan pabrik, losses minyak sawit, efisiensi pengutipan minyak, efisiensi pengutipan inti sawit, kadar air minyak sawit, kadar kotoran inti sawit hingga kadar air inti sawit.
Sedangkan di pabrik karet, realisasi produksi karet high grade dinilai masih berada di bawah 96% dan belum optimal.
“Akibatnya, pencapaian anggaran mutu kelapa sawit dan karet belum terpenuhi, produksi minyak sawit dan inti sawit, serta produksi karet high grade pada beberapa PTPN Grup belum optimal.”
Untuk itu, BPK telah memberikan rekomendasi kepada PTPN III sebagai holding untuk memperbaiki kinerja perusahaan secara grup dan melakukan evaluasi kinerja secara rutin.
Selain itu, perusahaan juga diminta untuk menyelaraskan Key Performance Indicator (KPI) dan menyusun roadmap perbaikan komposisi umur tanaman. PTPN I, II, IV, VI. VIII, IX dan XII juga diminta untuk segera menetapkan target kinerja pabrik kelapa sawit dan karetnya dan menyesuaikan standar dengan induk usahanya.
Tak adanya perbaikan kinerja ini sebetulnya sudah disadari oleh PTPN III meski holding ini sudah berdiri selama enam tahun lamanya. Kondisi ini karena sangat banyaknya komoditas yang dikelola oleh perusahaan sehingga dinilai menjadi tidak fokus.
“Itu karena ketidakmampuan PTPN holding untuk membantu anak usaha. Dan dari sisi garis komando sekarang dengan posisi holding kami sudah menyusun charter interaction antara holding dan anak perusahaan. Sekarang posisi holding kuat untuk men-deliver apa yang menjadi program strategi atau kebijakan,” kata Mohammad Abdul Gani, Direktur Utama PTPN III dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (8/7/2020).
Langkah yang dilakukan oleh holding saat ini adalah dengan hanya berfokus pada tebu dan kelapa sawit saja. Sedangkan komoditas lainnya seperti sawit, tebu, karet, teh kopi dan kakao dipilih untuk dihentikan.
Dalam rangka perbaikan kinerja ini perusahaan bakal mengonversi lahan seluas 70 ribu-80 ribu hektar lahan milik perusahaan dan anak usahanya untuk ditanami dua komoditas ini. Konversi lahan ini juga akan dilakukan dengan bekerja sama dengan Perum Perhutani untuk menggunakan lahannya seluas 60 ribu-70 hektar.
Ditambah dengan lahan rakyat seluas 116 ribu, diperkirakan untuk pengembangan komoditas tebu ini akan tersedia sebanyak 300 ribu hektar captive lahan.
Targetnya, perusahaan akan memasok gula untuk kebutuhan konsumsi di dalam negeri sebanyak 2 juta ton gula kristal putih (GKP).
“Kapasitas pabrik kami sebanyak 43 pabrik gula bisa memproduksi 2 juta ton GKP. Saya pastikan kalau itu tercapai maka kebutuhan gula konsumsi Indonesia bisa cukup,” jelasnya.
Dia menargetkan kenaikan kinerja PTPN bisa mulai terasa pada 2022 mendatang setelah dilakukannya konsolidasi organisasi. (dob/01/DN)