Advertisement

Pulau, Laut dan Darat Aceh Dirampok

Opini; DR Taufiq Rahim, akademisi UNMUHA juga Pengamat politik dan Ekonomi.

DR Taufiq Rahim akademisi UNMUHA,
Pengamat politik dan Ekonomi.

Aceh, desernews.com
Demikian seriusnya permasalahan di Aceh Singkil, setelah 4 Pulau, Laut dan Darat Aceh Singkil juga ingin dirampok dan dikuasai oleh Sumatera Utara (Sumut). Sampai demikian berambisi dan rakusnya sebagai penguasa politik, sehingga segala sesuatu yang ada di Aceh menjadi kekuasaan wilayah Sumut, yaitu kasus terbaru terbongkarnya penguasaan tanah, lahan di Desa Lae Balno Kecamatan Danau Paris beralih kepada Tapanuli Tengah Sumut. Dimana secara kuantitatif hamper setengah desa tersebut berpindah secara administratif dan tercatat dari lahan pertanian, perkebunan, kawasan hutan, pintu gerbang perbatasan, juga kantor desa.

Hal ini menunjukkan bahwa, kesewenang-wenangan semakin menjadi-jadi usaha untuk menguasai tanah, pulau serta laut sekitar Aceh Singkil keempat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.

Dengan sengaja bahwa, keempat pula di Aceh Singkil, yaitu hasil rampasan ini berdasarkan keputusan sepihak Menteri Dalam Negeri melalui Surat Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, ditetapkan 25 April 2025, mengubah status administrasi empat pulau di Aceh Singkil menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Demikian juga, dapat dipastikan secara sadar tanah di Desa Lao Balno Kecamatan Danau Paris juga dikuasai masuk ke daerah Tapanuli Tengah, Sumut. Dengan cara yang canggih dilakukan melalui pergeseran koordinat wilayah Aceh di Desa Lae Balno hilang pada peta. Hal ini memungkinkan kondisi desanya, yaitu secara administratif berada di Sumut. Selanjutnya pergeseran itu diperkirakan sekitar 17 Kilometer ke arah Barat, juga berdampak Sebagian laut dan pulau kecil di sekitar itu masuk ke Sumut.

Perubahan ini dengan cara koreksi peta nasional oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan cara mengembalikan koordinatnya ke Aceh. Maka dapat dikatakan sudah keterlaluan serta sangat biadab secara moral dan pengkhianatan terhadap usaha untuk menguasai Aceh, baik dengan cara politik, penguasaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, tanah dan lahan pemukiman serta usaha ekonomi rakyat dalam bentuk tanah perkebunan yang selama ini diusahakan. Dimana dalam usaha merebut keempat pulau tersebut menggunakan narasi Kemudian data valid kepemilikan sah adalah Aceh, ada narasi mengelola bersama yang kedengarannya konyol sekali secara akal yang waras, yaitu dikelola secara bersama Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara, sementara gaya seperti ini sudah berulangkali pengkhianatan niat baik Aceh, dalam membantu Indonesia sering dihadapi dengan pengkhianatan. Sungguh kebiadaban dan pengkhiatan ini semakin nyata berulang lagi dilakukan terhadap Aceh dan rakyat Aceh sejak mendukung, membantu serta ikut terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 1945.

Jika merujuk versi pengkhinatan di Aceh dalam berbagai even pertaruhan, perang, konflik yang acapkali Aceh dibohongi sejak dahulu kala, maka ada pengkhianatan zaman modern terhadap Aceh, ini dari masa ke masa di Aceh dikenal dengan istilah “cuwak”. Maka ada orang-orang atau politisi ikut menyuarakan kelola bersama tersebut, patut dicurigai secara massif, karena berada mencari hidup dan makan di Jakarta tersebut perlu berhati-hati memahami pernyataannya, tidak akan menguntungkan Aceh.

Demikian pula, secara rasional dapat dipahami usaha melakukan adu domba Pemerintah Pusat Jakarta, ini juga secara sengaja dan sadar dilakukan dengan berpedoman praktik Penjajahan Belanda pra masa kolonial yang popular dengan istilah “devide et impera”, kini coba dilakukan praktik ulang terhadap Aceh yang tidak pernah takut melawan penjajahan. Makanya usaha untuk merampas, merampok serta menguasai lahan dan tanah Aceh dengan cara-cara menguasai, pulau-pulau, laut dan darat yang tidak beradab segera dihentikan. Ini sebagai usaha untuk memicu konflik baru di Aceh. Hal ini sebenarnya sangat berisiko ditengah diamnya Aceh selama ini menerima apa adanya, tanpa gejolak dan konflik, dalam kehidupan yang jauh dari kondisi makmur, adil dan sejahtera dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian terus-menerus dilakukan kesewenang-wenangan dalam diamnya Aceh, meskipun seolah-olah secara politik seperti Nampak sudah dikuasai oleh Pemerintah Pusat Jakarta melalui praktik politik yang sangat sentraklistik, juga “omong-kosong” dengan otonomi khusus (lex specialist) yang digambarkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai “check kosong” yang dibulak-balik, hasil produk politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), juga berusaha menafikan 45 poin Kesepakatan Damai Aceh 2005 Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yang secxara sadar politik digerus dan atau dirontokkan satu persatu.

Karena itu, sebenarnya Aceh memiliki peradaban yang sudah lebih tua (akhir abad 14 dan awal abad 15), juga jauh lebih tua dari Indonesia yang ada sejak tahun 1945. Maka jangan menciptakan dan memancing kekisruhan baru dengan menciptakan konflik baru dengan cara merampas milik Aceh yang secara sah dan turun temurun sudah menjadi haknya. Sudah terlalu banyak bukti landasan kuat kepemilikan pulau-pulau, laut, tanah dan lahan yang menjadi argumentasi untuk menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, sebaiknya segera dihentikan usaha-usaha merampok, merrampas serta menguasai tanah Aceh.

Meskipun dengan argumentasi yang berkembang berkenaan dengan menguasai kekayaan alam (natural resources) yang selama ini Aceh dirugikan selalu dan tidak tepat janji, sumber daya ekonomi (economics resources), baik yang ada darat, laut dan wilayah lainnya dengan menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai tameng. Demikian juga, secara politik tidak tepat janji sesuai dengan Kesepakatan Damai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005. Sebaik Pemerintah Pusat Indonesia sudah cukup memperlakukan Aceh dengan praktik ketidakadilan, ketidakmerataan, ingkar janji serta pengkhianatan yang tiada ujungnya serta berulangkali. Demikian juga terus mengurangi serta mempersempit ruang gerak dan hak masyarakat sipil yang berada di Aceh, termasuk menguasai pulau-pulau, laut, darat serta tanah-tanah milik adat masyarakat Aceh.(TJ/DN)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button
Close
Close

Adblock Detected

Harap nonaktifkan aplikasi AdBlock nya terlebih dahulu.. Terima Kasih