Pembentukan Subholding PTPN, Perlukah Kembali ke Laptop ?
Oleh : Tezza Aldiano Giovanny
Dalam beberapa pekan terakhir, kenyamanan kerja karyawan PTPN di hampir setiap unit kerja terusik. Mulai dari bisik-bisik tetangga, diskusi setengah kamar, hingga yang membuka mimbar terbuka di beberapa unit kerja. Bahkan, ada yang merangsek ke Kantor Pusat dan long march ke beberapa instansi yang dinilai memiliki keterkaitan.
Apa yang disuarakan?
Awalnya dipantik oleh rumor dari seberang yang dikuatkan dengan foto surat resmi dari salah satu direktur PTPN IV Subholding Palmco tentang pemberian bonus kinerja tahun 2023. Sebagaimana berita yang muncul di beberapa media online di Medan, para karyawan PTPN IV Regional 1 (Eks.PTPN III) Medan memprotes kebijakan Head Office Regional PTPN I yang memberikan bonus kepada karyawan Regional 3 lebih tinggi. Tak pelak, sejumlah alasan untuk menguatkan aksi protes itu disampaikan. Antara lain, prestasi kerja karyawan Regional 1 lebih tinggi.
Ketika bisik-bisik berubah menjadi rumor, rumor menjadi panggung terbuka, dan aksi-aksi itu ditangkap media, maka isu itu semakin melebar. Seperti kebakaran lahan gambut di musim kering, api tak lagi memilih mana gulma mana tanaman untuk diubah menjadi abu. Dari isu bunus tahunan kini melebar ke pertanyaan “apa guna pembentukan Subholding?”
Berkaca dari peristiwa politik pergantian rezim pada 1998, rakyat Indonesia sepakat untuk menggulirkan reformasi. Anak kandung dari drama reformasi adalah otonomi daerah. Sejak tahun 2000, Era Otonomi Daerah digulirkan dan mengubah tatanan dengan menempatkan pemerintahan di daerah sebagai tonggak pembangunan. Ini sudah berjalan 24 tahun dengan naik turun dinamikanya.
Agak berbanding terbalik, PTPN yang lahir dari proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda sudah berlaku otonomi wilayah sejak awal. Menilik sejarahnya, sebelum 1996, ada lebih dari 30 PTP di seluruh Indonesia dengan berbagai komoditasnya. Tahun 1996, pemerintah melakukan konsolidasi seluruh PTP yang kemudian menggabungkan menjadi 14 entitas.
Tampaknya, terlalu banyak “bos” di daerah itu tidak nyaman bagi Pusat yang dikomandoi PTPN III Holding sebagai induk kendali. Dan, sejak 1 Desember 2023 telah final era otonomi entitas wilayah di PTPN Grup dicabut dengan pembentukan tigas Subholding. Yakni, Sinergi Gula Nusantara (komoditas gula), PTPN IV Palm Co (komoditas kelapa sawit), dan PTPN I Supporting Co (rupa-rupa komoditas). Kini, PTPN sudah kembali ke laptop, kembali dikendalikan secara sentral dari satu pintu, dan raja-raja di wilayah sudah tak bergigi lagi.
Dimulai dari isu bonus, rumor meruyak kepada struktur organisasi manajemen. Puluhan karyawan PTPN IV Regional 1 mengatas namakan organisasi pekerja melisting beberapa “dosa” yang telah dilakukan pemerintah melalui orang-orang yang dipasang di manajemen. Salah satu yang dicolek adalah ketiadaan “putra daerah” dalam struktur manajemen di daerahnya.
Mereka memprotes board regional management (BRM) di Regional 6 yang taka menyisakan satupun kader lokal untuk diberi kepercayaan memimpin, meskipun tetap berada dalam kendali Head Office. Isu ini terasa panas karena bumbu-bumbu argumentasi yang beraroma primordial ikut mewarnai.
Telaah ini bisa menjadi pijakan asumsi bahwa kekuasaan yang bersifat sentral lebih disukai oleh petinggi Negeri. Reformasi politik yang menghasilkan pola otonomi daerah dinilai membuat birokrasi dan tatanan menjadi tambah ruwet dan cenderung tak terkendali, maka tampaknya pusat kekuasaan bercita-cita balik lagi ke masa absolut dengan bungkus demokrasi terpimpin. Hal itu terbaca dari munculnya wacana agar gubernur ditunjuk Presiden dan beberapa polemik lainnya. Namun, sebagaimana biasanya, langkah politik, seberapa pun kecilnya, memunculkan keguncangan.
Apa yang terjadi di Kementerian BUMN boleh jadi merupakan “cicilan” untuk menarik kembali kekuasaan ke pusat. Dimulai dari pembentukan Holding Company pada perusahaan-perusahaan pelat merah.
Mengggabungkan beberapa perusahaan ke dalam satu Subholding, mengamputasi beberapa perusahaan BUMN yang dinilai tidak berkinerja baik, dan lainnya.
Fakta tentang pola sentralisasi itu sudah nyata ketika beberapa bank syariah milik negara disatukan ke dalam BSI. BUMN yang mengurusi pelabuhan dijadikan satu lalu entitas lama diubah statusnya menjadi Regional. Ini juga terjadi pada PTPN yang sebelumnya terdapat 14 entitas kini hanya menjadi tiga saja. Tentu saja masih banyak kebijakan senada yang lain.
Rawan di Masa Transisi
Lalu, apakah otonomi lebih baik dari sentalisasi? Atau sebaliknya?
Jawaban atas pertanyaan itu tetap mengacu kepada implementasinya. Kalau kita asumsikan suatu negara, apakah negara kerajaan seperti Inggris atau Arab Saudi lebih baik dari Amerika atau Jerman yang dianggap sebagai embahnya demokrasi? Sekali lagi, jawabannya kembali kepada bagaimana prinsip-prinsip dalam konsep itu dijalankan.
Kembali ke BUMN, tampaknya Pemerintah lebih ingin memilih pola kendali penuh pada Pusat. Ini wajar karena sistem dengan struktur yang jelas dan terpusat akan memiliki derap dan langkah strategis yang relatif seragam. Keseragaman ini akan mengurangi ketimpangan antar pihak, tetapi juga berisiko karena setiap pihak memiliki karakteristik berbeda. Perbedaan perlakuan, sebagaimana soal bonus di PTPN IV Regional 1 beberapa waktu lalu, adalah risiko dari pilihan sentralisasi.
Diperlukan ketajaman analisis fakta dari setiap kebijakan yang diambil oleh Pusat untuk membangun harmoni dengan tetap berkinerja tinggi. Namun, untuk membangun sistem yang kuat dan diamini semua elemen bukan perkara mudah. Cara-cara yang dilakukan Kim Jong Un di Korea Utara mungkin bisa, tetapi risikonya sangat besar.
Dalam pengamatan penulis dari jejak digital media massa, masa transisi penggabungan 14 PTPN ke dalam tiga entitas Subholding memiliki kerentanan cukup tinggi. Ada polemik, kontroversi, redudansi, dan aneka masalah lain yang masih anomali.
Semangat efisiensi yang digelorakan melalui perampingan struktur dengan pembentukan Subholding tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam perjalanannya, ada beberapa Regional yang saat masih sebagai entitas korporasi hanya memiliki satu Direktur dan tiga SEVP, kini justru punya dua “Direktur” dengan sebutan Regional Head dan empat SEVP.
Benar bahwa secara grade enam posisi ini bukan direksi “beneran”, tetapi patut diyakini gajinya tidak berkurang dari jabatan direktur pada struktur sebelumnya. Sebab, tugas dan tanggung jawabnya sama persis. Struktur ini terjadi pada eks. PTPN VII yang memiliki wilayah kerja di Lampung, Sumsel, dan Bengkulu.
Struktur baru ini tentu diikuti oleh level di bawahnya. Jika sebelumnya satu direktur dengan tujuh kepala bagian dan struktur lain di bawahnya, kini dua Regional Head juga memiliki beberapa kepala bagian di bawahnya. Fakta ini menguatkan asumsi bahwa sentralisasi untuk efisiensi patut diperdebatkan.
Sebaliknya, semangat sentralisasi sangat kental ketiga melihat kewenangan seorang Regional Head. Jika sebelumnya dalam jabatan direktur memiliki kewenangan penuh untuk mengeksekusi suatu kebijakan, apalagi kebijakan urgen, kini semua kembali ke “laptop”. Untuk urusan pemindahan karyawan level bawah saja, semua harus mendapat persetujuan dari Head Office.
Dengan mengambil beberapa sampling kasus itu, patut kita berwacana bahwa keputusan sentralisasi ini kontradiktif dengan semangat reformasi otonomi. Otonomi yang diikhtiarkan untuk mempercepat keputusan dan memutus rantai birokrasi, kini kembali ke birokrasi panjang lagi.
Apakah ada solusi?
Ya, tentu saja harus ada. Kita beruntung saat ini sudah berada di era teknologi informasi digital yang amat cepat. Teknologi digital bisa menjadi “bumper” ketika ada yang menuduh sentralisasi ini akan memperlambat birokrasi. Kita bisa berdalih bahwa tidak ada alasan untuk menunda proses karena tanda tangan sudah bisa secara virtual, rapat pakai aplikasi meeting, dan begitu banyak kemudahan lainnya.
Namun demikian, yang menjadi masalah adalah para pemangku kepentingan birokrasi ini. Kita punya perangkat canggih, cepat, dan mahal, tetapi keputusan sangat tergantung kepada satu atau dua orang saja. Kita sering kehilangan momen terbaik gara-gara menunggu tanda tangan pejabat. Sementara, sang pejabat sedang gala dinner tak jelas kapan selesai dengan pesan pribadi “tidak boleh diganggu!”
Pada intinya, pembentukan Subholding yang merupakan kebijakan sentralisasi atau juga konsep merger yang dilakukan perusahaan BUMN memiliki tujuan yang baik. Di tangan personel yang baik, apapun model yang dipakai akan tetap mengarah kepada tujuan bersama. Sayangnya, budaya kita masih kental dengan feodalisme yang menghambat kemajuan bersama.
Penulis adalah Ketua Umum FKPPIB, Organisasi Anak-anak Karyawan BUMN
Belum lagi uang vendor yang gak dibayar bayar
mau holding..sub holding kewajiban pd vendor hrs tepat waktu krn brg sdh dipakai…PTPN terlalu banyak inovasi di jadikan holding atau regional tapi cara kerja tdk berubah…apa gunanya kalau hanya ganti istilah sj