Advertisement

Kelakuan Kades Kohod Minta KTP Warga Untuk SHGB di Area Pagar Laut Tangerang Terbongkar

Klaim Kades Kohod bahwa area pagar laut Tangerang dulunya empang akhirnya terbantahkan, (kolase tribunnews/kompas)

Tangerang, desernews.com
Satu per satu kejanggalan penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) pagar laut Tangerang, terkuak.

Terbaru, Nasarudin, warga Desa Kohod, Kabupaten Tangerang mengungkap adanya kepemilikan SHGB atas nama anaknya yang tidak sesuai.

Nasarudin mengungkap, nama anaknya, Nasrullah masuk dalam daftar pemilik SHGB di area pagar laut Tangerang.

Tak tanggung-tanggung, di SHGB itu, anaknya tercatat memiliki lahan seluas 1,4 hektar. Dan, dalam keterangannya disebutkan bahwa lahan itu dimiliki sang anak yang berusia 18 tahun dari hasil warisan.

“Ini keterangan waris. Berarti saya sudah dianggap mati. Padahal saya masih hidup,” kata Nasarudin dikutip dari tayangan youtube Liputan 6, pada Senin (27/1/2025).

Nasarudin mengaku baru tahu adanya SHGB atas nama anaknya itu, belum lama ini.

Dia memastikan SHGB itu tidak benar, karena kenyataannya dia tidak memiliki lahan di area laut.
“Saya sama sekali gak punya (lahan) pak, se-meter pun gak punya. Di darat pun gak punya, apalagi di laut,” tegasnya. Kalau saat ini ada penerbitan SHGB, Nasarudin mengaku dirugikan. “Saya gak terima ini,” katanya.

Nasarudin pun mengungkap awal mula ada pihak kelurahan yang tiba-tiba meminjam KTP anaknya.
“Diambil begitu, saja. Tahu-tahunya begini (muncul SHGB atas nama anaknya),” tandasnya.

Henri Kusuma, tim advokasi warga mengungkap, tak hanya SHGB milik anak Nasarudin saja yang bermasalah. “Di desa Kohod ada beberapa pecahan sertifikat,” katanya.

Henri menuding Kepala Desa Kohod mengerahkan individu-individu, salah satunya adalah warga. Caranya, warga ini dibohongi, dimintai KTP untuk dibuatkan PM 1.

“PM 1 ini diurus kades dan kroni-kroninya. Salah satunya (anak Nasarudin), diminta KTP tanpa sepengetahuan warga, untuk dibuatkan SHGB. Dibuatkan surat keterangan waris, seolah-olah ayahnya meninggal, sehingga asal usul (tanah) meninggal,” ungkap Henri.

Di bagian lain, Khaerudin, perwakilan warga mengaku telah melaporkan soal sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pagar laut ke Kementrian ATR/BPN serta KPK, pada 10 September 2024 lalu.

Khaerudin bercerita, kala itu sejumlah warga Desa dan kuasa hukum, sempat melakukan audiensi dengan staf ATR/BPN terkait adanya sertifikat di pagar laut.

“Kami sudah melapor ke ATR dan KPK pada 10 September. Kami sudah melapor. Masalah patok laut sama sertifikat laut,” kata dia.

“Kami juga ke Kementerian ATR, kebetulan waktu itu saya audiensi sama lawyer kami. Nah di situ ditemui sama stafnya aja. Bahkan mereka pun mengatakan tidak tahu. Padahal kami sudah bawa bukti. Itu ada pagar laut, kami bawa fotonya, kemudian sertifikat juga saya bawa,” tambahnya.

Khaerudin menjelaskan, salah satu sertifikat yang dibawa sebagai barang bukti, atas nama Nasrullah.
“Sertifikat itu atas nama Nasrullah. Nasrullah itu masih mempunyai seorang ayah, tetapi di sertifikat itu dikatakan bahwa beliau itu sudah meninggal, ahli waris. Sertifikatnya ada di kami, bukti-buktinya sudah ada di kami, sudah dilaporkan juga,” papar dia.

Terkait adanya 50 SHGB dan SHM yang digagalkan Menteri ATR/BPN pada Jumat 24 Januari 2025 kemarin, Khaerudin mengaku senang.

Dia pun meminta pemerintah jangan hanya membatalkan SHGB dan SHM, namun juga menindak pihak yang terlibat.

“Kami sangat berterima kasih sekali. Jangan sampai dibatalkan saja, kami mohon ditindak. Karena ini sudah menjual laut ini, kan milik negara, milik umum. Kenapa dijual belikan, dijadikan sertifikat-sertifikat,” ungkapnya.

Khaerudin juga menentang keras soal adanya pernyataan pagar laut di pesisir Kabupaten Tangerang hasil swadaya masyarakat.

“Itu bohong, hoax, kami selaku warga bisa memastikan kalau narasi itu hoax,” kata Khaerudin perwakilan warga Desa Kohod kepada wartawan, Sabtu (25/1/2025).

Khaerudin mengatakan, pihak yang menyampaikan narasi itu bukanlah nelayan, melainkan staf desa.
Dia pun mengaku sakit hati usai staf desa yang mengaku nelayan itu menyatakan pagar laut hasil swadaya masyarakat.

“Saya bisa memastikan, yang klarifikasi itu adalah staf desa, kami ini sakit hati, kami yang merasakan sebagai nelayan,” ungkap Khaerudin.
Hingga berita diunggah, belum ada konfirmasi dari kades Kohod terkait masalah ini.

Bukti Kades Kohod Keliru
Sementara itu, Klaim Kades Kohod, Arsin bahwa area pagar Laut Tangerang dulunya adalah empang, akhirnya terbantahkan. Klaim Kades Kohod ini terbantahkan dengan bukti tampilan satelit tahun 1995.

Berdasarkan pengecekan yang dilakukan Tribunnews.com, sejak tahun 1995 hingga 2025, tidak ada empang atau tanah di deretan laut samping desa Kohod.

Bahkan pada satelit terbaru justru nampak pagar laut yang saat ini membentang 30,16 kilometer yang melewati Desa Kohod.

Video singkat pemandangan satelit pagar laut juga sempat diunggah akun X anggota PKS, Mulyanto.
“Pagar laut dari satelit,” tulis @pakmul63 pada 15 Januari 2025 lalu.

Tampak pagar laut sudah terlihat dengan rangka-rangka di bawah laut berupa kotak-kotak seperti penangkaran atau penahan ombak.
Dan memang benar, pagar tersebut melewati Desa Kohod dan Desa Kramat.

Sebelumnya, kengototan kades Kohod tentang area pagar laut itu diungkapkan di depan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid yang berkunjung pada Jumat (24/1/2025).

Arsin bersikeras bahwa pagar laut di area tersebut dulunya merupakan empang. Arsin mengeklaim, abrasi mulai terjadi sejak 2004, menyebabkan lahan kosong tersebut perlahan hilang ditelan air laut akibat abrasi.

“Mau Pak Lurah bilang itu empang, yang jelas secara faktual material, tadi kita lihat sama-sama fisiknya sudah enggak ada tanahnya. Karena sudah enggak ada fisiknya, maka itu masuk kategori tanah musnah,” kata dia.

Namun, kata Nusron, Arsin tetap kekeh bahwa lahan tersebut memiliki sejarah sebagai empang yang digunakan oleh warga.
Nusron, yang tak ingin memperpanjang perdebatan, memilih untuk menegaskan bahwa pihaknya pembatalan sertifikat HGB dan HM di laut karena ke terbukti fisiknya benar-benar hilang.

“Ini enggak ada barangnya tapi akan saya cek satu per satu. Kan tadi sudah kita tunjukin gambarnya. Kalau memang sertifikatnya ada. Tidak ada materialnya semua, otomatis akan kita batalkan satu per satu,” jelas dia.

Usai berdebat dengan Nusron Wahid, Arsin langsung menghindari sejumlah wartawan yang mencoba meminta keterangan darinya terkait pagar laut tersebut.

Awalnya, Arsin beralasan hendak melaksanakan shalat Jumat di Masjid Abdul Mu’in, Pakuhaji.
Para wartawan pun memilih menunggu hingga shalat selesai.

Namun, saat keluar dari masjid, Arsin justru menghindar tanpa memberikan pernyataan apa pun.
Sejumlah pengawal yang mendampingi Arsin tampak mengadang para wartawan yang mencoba mengejar.

Setidaknya ada lima orang yang mengawal Arsin.
Cara pengamanan yang dilakukan para pengawal itu pun sudah seperti Paspampres.

Mereka menjaga ketat kades agar terhindar dari pertanyaan wartawan.
Aksi pengadangan itu memungkinkan Arsin pergi dengan leluasa, meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Meski dibantah Arsin, Nusron Wahid tetap membatalkan 50 sertifikat HGB di area pagar laut Tangerang. Proses pembatalan sertifikat ini dilakukan dengan memeriksa tiga hal utama, yaitu dokumen yuridis, prosedur administrasi, dan kondisi fisik material tanah.

“Hari ini kami bersama tim melakukan proses pembatalan sertifikat, baik itu SHM maupun HGB. Tata caranya dimulai dengan mengecek dokumen yuridis.”

“Langkah kedua adalah mengecek prosedur. Kami bisa melihatnya melalui komputer untuk memastikan apakah prosesnya sudah benar atau belum,” ujar Menteri Nusron kepada awak media usai meninjau kondisi fisik material tanah di wilayah pagar laut Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Jumat (24/01/2025).

Namun, kata Nusron karena menyangkut pembatalan, langkah terakhir adalah mengecek fisik materialnya. Pihaknya juga sudah datang dan melihat kondisi fisiknya.
Menteri Nusron melanjutkan, pihaknya memastikan proses pembatalan dilakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur yang berlaku.

“Kami harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan bukti yang sah dan sesuai dengan aturan yang ada.”

“Jadi, jangan sampai kita membatalkan sesuatu yang kita anggap cacat hukum maupun cacat material, proses pembatalannya cacat juga,” tambahnya.

Terkait sanksi dalam penerbitan sertifikat, Menteri Nusron menjelaskan jika hal tersebut merupakan tindak pidana, tentu terdapat sanksi.

“Namun, bagi pejabat kami, itu disebut maladministrasi, karena dianggap tidak prudent dan tidak cermat. Inspektorat kami sudah memeriksa selama empat hari, dan semua pihak terkait sudah diperiksa,” ujarnya.

Dalam upaya meningkatkan pengawasan, Kementerian ATR/BPN berkomitmen untuk meningkatkan manajemen risiko serta ketelitian petugas dalam proses verifikasi.

“Dengan adanya aplikasi Bhumi ATR/BPN, kesalahan apapun tidak bisa disembunyikan. Semua orang bisa mengakses data dan menjadi kontrol sosial,” tutup Menteri Nusron. Sumber: Tribunnews.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button
Close
Close

Adblock Detected

Harap nonaktifkan aplikasi AdBlock nya terlebih dahulu.. Terima Kasih